Skip to main content

Resensi Buku Filsafat untuk Pemalas: Ngaji Keadilan Kepada Plato dan Ayam

Table of Content [ ]

Sekitar 2.500 tahun lalu, muncul sebuah ungkapan bahwa An unexamined life is not worth living (hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tak berarti dan while hard thingking about important issues disturbs it also consoles (meskipun berpikir mendalam tentang hal-hal penting itu menyusahkan, tetapi ia juga menyenangkan).

Itulah asumsi pertama kalinya yang diungkapkan oleh Socrates (470 – 399 SM) yang menjadi cikal bakal filsafat. Sebagaimana yang dikatakan Aristoteles (384 – 322 SM), filsafat dimulai dengan rasa takjub terhadap misteri dan keunikan dunia.

Dalam banyak literatur, filsafat dikenal sebagai kajian mendalam terhadap problematika mendasar dan umum melalui pendekatan yang kritis, sistematis, dan berlandaskan argumen-argumen yang rasional.

Filsafat adalah sebuah perenungan dan telaah terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak terpikirkan untuk ditanyakan. Yang pada akhirnya mengarah pada satu visi hidup yang menyeluruh dan utuh.

Filsafat juga bisa dikatakan sebagai sebuah tantangan. Tantangan hidup untuk tidak sekedar taklid, ikut-ikutan, dan mengalir begitu saja tanpa tau ke mana, untuk apa dilakukan, dan mengapa demikian.

Namun di sisi lain, filsafat bagi sebagian besar orang identik dengan kata “njelimet”, “mengada-ada’, “anti spiritual atau agama”. Filosof dipandang sebagai tukang debat yang tidak mau disalahkan, kurang kerjaan, berambut gondrong dan menyebalkan.

Apakah filsafat sedemikian menakutkan ? Tidak bisakah generasi gen Z yang 24 jam berkantor di ponselnya mempelajari filsafat tanpa “njelimet” dengan istilah-istilah yang nyeleneh dan membingungkan ?.

Kendati demikian, tidak dipungkiri juga banyak filosof yang mahir berpikir dan menghasilkan gagasan besar, tapi tidak mahir dalam bertutur dan menulis. Akibatnya, apa yang dituturkan atau dituliskan menjadi sungkar dipahami orang awam.

Buku “Filsafat untuk Pemalas” karya Achmad Dhofir Zuhry ini rupanya ingin menunjukkan bahwa filsafat itu tidak serumit yang dibayangkan. Ditulis menggunakan bahasa sederhana tanpa mengurangi esensi makna, dan pembahasannya yang kental dengan keseharian hidup manusia.

Buku “Filsafat untuk Pemalas” tersebut terdiri dari puluhan esai yang merupakan kumpulan kritik, nasehat dan motivasi dalam hal keseharian hidup, berpikir, bernegara, bermasyarakat, hingga beragama.

Salah satu esai yang menarik perhatian dalam “Filsafat untuk Pemalas” di sini adalah “Ngaji Keadilan Kepada Plato dan Ayam” di mana penulis menjelaskan keadilan dari sudut pandang Plato dan analogi ayam jantan yang mendalam.

Penulis benar-benar memberikan stimulus melalui pertanyaan-pertanyaan kritis dan renungan mendalam kepada pembaca untuk berpikir komprehensif mengenai keadilan bukan hanya dari satu sudut pandang saja.

Dan yang lebih menarik lagi adalah bagaimana penulis menganalogikan akan substansi keadilan dengan ayam jantan yang diletakkan di tengah-tengah 3 (tiga) etnis berbeda hingga melahirkan tafsir tentang keadilan yang berbeda pula.

Yang pada akhirnya melahirkan satu kesimpulan sederhana bahwa tafsir tentang keadilan di mana masing-masing agama, epistemologi, etnik, dan budaya tidak boleh menyalahkan dan mengklaim bahwa tafsirnyalah yang paling benar.

Lantas, kenapa analogi yang digunakan harus ayam jantan ? Itulah pertanyaan yang mungkin tidak terucapkan oleh pembaca. Jawaban penulis di akhir esainya sederhana, menggelitik hati, dan cukup memberikan tamparan keras.

Karena ayam jantan tidak bertelur, ia aman dari pertanyaan kaum defisit nalar dan otak cingkrang di konten-konten siniar (podcast) perihal duluan mana ayam dengan telur?.

* Ni'am Azhari, mahasiswa Unwahas dan content writer Nahwushorof.ID

*****

Article Policy: Diperbolehkan mengambil sebagian artikel ini untuk tujuan pembelajaran dengan syarat menyertakan link sumber. Mohon koreksi jika ditemukan kesalahan dalam karya kami.
Tutup Komentar